Kode dari Jokowi di Balik Istilah "Sontoloyo" dan "Genderuwo


Selama dua bulan masa kampanye Pilpres 2019, kontestasi politik dinilai
masih belum berada pada tahap adu ide dan gagasan.

Masing-masing pasangan capres-cawapres masih cenderung adu jargon
politik untuk saling menjatuhkan.

Penggunaan istilah politisi "sontoloyo" dan politik " genderuwo" sempat
dilontarkan oleh calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo.

Sementara, istilah "tampang Boyolali" yang digunakan calon presiden
nomor urut 02 Prabowo Subianto untuk mengkritik ketimpangan sosial
sempat menjadi polemik.

Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, jika dilihat
dari sisi psikologi politik, jargon-jargon politik seperti politisi
sontoloyo dan politik genderuwo merupakan bentuk protes Jokowi

 Menurut Hamdi, Jokowi
melontarkan protes terhadap para politisi yang tidak memegang etika
berpolitik.

Akibatnya, suasana politik di Indonesia saat ini terkesan tidak elegan.

"Jokowi merasa banyak politisi tak memegang etika politik yang membuat
demokrasi kita lebih elegan," ujar Hamdi dalam sebuah diskusi di Kantor
Populi Center, Jakarta Barat, Kamis (15/11/2018)

Protes Jokowi tersebut, lanjut Hamdi, tidak bisa dilepaskan dari banyaknya fitnah dan hoaks yang menyerang petahana itu sejak Pilpres 2014. Selama ini, figur Jokowi selalu diterpa isu antek Partai Komunis Indonesia (PKI), pro terhadap pemerintah China, anti-Islam, dan isu masuknya jutaan tenaga kerja asing ke Indonesia. Faktor itu juga yang menyebabkan Jokowi melontarkan istilah politik genderuwo kepada mereka yang dianggapnya menyebarkan pesimisme dan ketakutan di tengah masayarakat. "Kebetulan dia merasa serangan hoaks dan fitnah banyak mengarah pada dirinya dan dia mulai protes, maka muncullah politisi sontoloyo," kata Hamdi.
Di sisi lain, Hamdi menilai, kedua istilah tersebut digunakan Jokowi untuk memberikan warning atau peringatan kepada para lawan politiknya. Sebagai petahana, kata Hamdi, Jokowi berharap kontestasi Pilpres 2019 tidak diisi dengan fitnah atau hoaks, melainkan sebagai wadah pertarungan ide dan gagasan. Politisi sontoloyo dan politisi genderuwo merupakan kode keras untuk lawan Jokowi. "Selain protes bisa juga warning atau kode keras. Janganlah politik kita seperti itu. Lebih baik adu gagasan, adu program," kata Hamdi. "Publik juga rindu, harusnya (kampanye) diletakkan dalam adu program. Jadi masyarakat dapat alternatif berbasis data yang akurat," ujar dia.

Comments